Hari / Tanggal : Kamis , 30 April 2015
Admin & Notulen : Sari & Nurjannah
Narasumber : Ustadz Muslim
Tema Kajian Fiqh : Riba dalam Islam
========================
MUKADDIMAH
بسم الله
الرحمن الرحيم
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْه
ِ
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan
meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Barang siapa
mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan
barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan
keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari
kiamat.
Segala puji hanya bagi Allah yg telah
memberikan kesempatan kepada kita untuk bersama2 mengikuti kajian online pada
sore ini.
Resume Materi 4
RIBA DALAM ISLAM
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ – يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ
يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Satu dirham yang didapatkan dari
transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui
bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga
puluh enam kali” [HR Ahmad no 22008].
Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh,
tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam
dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’
mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk
di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang
diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah
Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yang
diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan
ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan
qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba
nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang
diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat
diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang
masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan
tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang
dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan
sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama
oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164).
Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
(Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem
jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan
Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah:
275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah
Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin
Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam
Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini
shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud z. Beliau berkata:
“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual
beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang
lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053,
Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161)
dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166)
menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan
bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas z, bahwa Rasulullah n
bersabda:
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah
adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah
(terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i
(7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul
habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang
yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan
kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku
beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan
riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah
menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk
menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan
termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
(Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di
antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR.
Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam
Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan
riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan
termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t
sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik
yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan
An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah
haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan
kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang
terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa
ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara
mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu
Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba
yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih
adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir
juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang
dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n
bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam
harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan).
Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang
meng-ambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq
‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan
6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang
terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain
bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini,
perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus,
‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga
dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu
‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada
sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam
Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh
Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para
masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini
dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang
lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya)
sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai
batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin
Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa
riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu
yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti
besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak
ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti
buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli
besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang
yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab
pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan
lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan tim-bangan… kecuali
takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga
disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang
lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik
itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1
jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk
barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua
gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan dirajihkan
oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa
riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma,
garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada
barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i
dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu
Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah
Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan,
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap
barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau
ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang
dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku
hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat
Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas
dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah
ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual
beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya
enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak
disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah
hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda
pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah
mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk
kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz
(takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam
sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada
pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam
rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan
lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang
yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau
hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan
Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas
hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil
oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil t ditanya tentang masalah
ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena
riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah masuk
dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain.
Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar
sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada
sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat
(sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham
dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni
demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan
perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan
perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk
barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari
madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk
barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan,
platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu
diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan
adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang
yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya
tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu
riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar)
untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas
dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat
pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga
termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah
bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba
fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang
kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak.
Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis
pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu
riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh
seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan
oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas
disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat
tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai
alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli,
pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba
diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa
hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan
dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah)
pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah
(tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi
secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun
serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp.
1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang
dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima
di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai
nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau
sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di
pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di
pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang
pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui
sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui,
takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang Vdiketahui.
http://asysyariah.com/riba.html
Macam-macam Riba
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Afifuddin)
Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah
lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita.
Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan
bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu
disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait
dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah,
sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari
penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya
tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan
tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab:
“Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp
1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah
(melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di
awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B.
Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu
bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang
paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering
terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan
masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh
(riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada
orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak
jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp.
1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau
meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh
tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang
mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah
riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar
bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil
(5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang
dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap
pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau
penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk
riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah
yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya
keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam
meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada
saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli
yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000
sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini,
di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah
(koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun.
Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi,
maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat
penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan
praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa
bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase
dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan
sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya
dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung
atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi,
BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah
mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan
seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan
pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil
usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi
maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul
muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka,
pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju
indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang
digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si
B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian
memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya
sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba,
namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu
pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti
pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian
harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh
meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits
riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai
ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti)
nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan
bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah
syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan
masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah
50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan, maka pemilik
tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi
lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih
timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul
(kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim
dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba
fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba
fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua
dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di
antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat
Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar,
Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan
lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam
Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah
hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah
(tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang
lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah.
Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian:
Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan
diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i,
disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini
pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara
hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan
secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan
riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini
dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan
adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh
para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada
riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka
diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan
fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas
secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka
disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun
tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan
garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul
berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun
dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan
nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis.
Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak
disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu
menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di
sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang
masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas
disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma,
demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas
dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul
dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama
atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya,
emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya.
Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr
atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir,
kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah
bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n
bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun
bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila
tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua
atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma
dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang
dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam
An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu,
dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah
dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering
diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum
riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah
x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari seorang
Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli di sini adalah sya’ir
(termasuk jenis yang terkena hukum riba) seba-gaimana lafadz lain dari riwayat
di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau
perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju
besinya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan
15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 028
Wallahu 'alam
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
REKAP TANYA JAWAB
#1.T: Bagaimana dg jual beli MLM? Mohon
penjelasannya!
J: Ada pembahsan khusus insya allah nyusul
#2. Bagaimana sistem keuangan dari Bank
Syari'ah dan KJKS? Smua kan jg bermuara d BI?
J: Memang bank syariah blm ideal tp insya allah
akan sempurna di suatu saat kelak.. namun semuanya perlu dukungan kita...
#3. T: Apakah hukum arisan? Apakah ini trmasuk
dg pengundian nasib?
J: Arisan Tidak termasuk ngundi nasib..
#4. T: Kredit motor itu apa riba jga? Mengapa?
J: Kredit motor tidak termasuk tiba..
#5. T: Lebih ahsan mana Kontrak rumah apa KPR?
Mengapa?
J: Sesuaikaan dgn kemampuan anda..krn saya tak
tau isi kantong anda..
Jazakumullaah khairan katsiran
2. T: Assalamualaikum Ustadz...
Sy mau bertanya, apakah pembelian dg cara
kredit hukum termasuk riba?
Jazaakallah Ustadz ats penjelasannya
J: Jual beli kredit boleh dan tidak termasuk
riba
3. T: Bgmna jual beli saham itu apakah termasuk
riba ustadz?
J: Jual beli saham pada hukum asalnya boleh
Misal
3 org memiliki rumah yg sama.. kemudian salah
seorg mereka menjual saham sepertiga ke yg lain... itu boleh..
Namun jual beli saham sekarang yg harga sgt
spekulatif dan menggunakan sistem bunga jelas hukumnya adalah haram...
4. T: Ustadz ana mau tanya, apa hukum jual beli
online..?
J: Jual beli online sama dgn jual beli salam..
dimana barang yg dijual belikan tidak ada dlm mejelia jual beli tp ada spek dan
contohnya... dan hukumnya boleh dgn syarat boleh di reject kl tak sesuai spek
dan contoh barang
5. T: Bagaimana hukum nya jika membeli dolar
dan akan ditabung ?
J: Jual beli mata uang dibenarkan krn utk
keperluan wisata...
Kl utk disimpan dan akan dijual ketika mata
uang tsb naik hukumnya haram
6. T: Ustadz jd gmn dengan kita membeli emas
untuk menabung..trus wktu hrga emas naik kita jual?
Gmn hukumnya ustadz?
J: Kalau beli emas boleh kapan dan dimana
saja...berbeda jual beli matauang dibolehkan krn darurat...
7. T: Mau tanya ustadz :
Kita beli emas murni ; kmudian emas tsb di
titipkan di penjual tsb ( kebetulan kenal baik/ tetangga ) ; tiap tahun dia
kasih ke untungan sesukanya saja . Bgmn menurut ustadz; apakah ini haram ??
Syukron
J:Akad harus jelas...
Kl dititip dan kemudian dijual maka harus jelas
pula brp utk pemilik dan brp utk yg menjualkan...
8. T: Boleh nanya lagi kan ukhtii..
Ustad bagaimana
hukumnya kita membeli atau mebeli barang dengan
2 harga..
Mis.klu cash hrganya 100 klu kredit harganya
200.
Apakh trmasuk riba?
J: Sebenarnya yg disebut di atas adl penawaran
belum akad jual beli...
Jadi boleh tp ketika akad harus jelas pilih yg
mana...
***
Beda riba dan jual beli sangatlah tipis... maka
org yahudi mengatakan sama aja riba dan jual beli..
bedanya saat akad...
Makanya akad harus jelas..
Beda nikah dan zina juga pada akad.. bentuk dan
cara hubungan nya sama tapi nikah halal zina jd haram.. bedanya dimana di AKAD
Riba ada untung yg disebut bunga dan jual beli
juga untung yg disebut laba.
Misal: Kita punya 1 jt kita kasi pinjam ke org
lain tiap bulan ada untung 5 persen itu riba dan haram..
Beda dgn 1 jt tsb kita beli barang dan jual
dapat untung dan halal
9. T: Bgmn klo ada orang pinjam uang utk bisnis
( nambah modalnya ) , kmdian hasil keuntungannya dia bagi juga dg kita, apakah
itu riba ?? Tks
J: Seperti yg saya katakan di atas bahwa akad
harus jelas kl diakad sebagai pinjaman maka dikembalikan sejumlah pinjaman dan
tidak ada hasil
Tp kl bagi hasil harus jelas pula berapa nisbah
bagi hasilnya 30 70 40 dan 60 atau terserah brp yg disepakati
10. T: Kasus ini sering terjadi di kantor saya
ustadz. Anggota sebut saja namanya A pinjam uang atas nama orang lain namanya
B; bunga koperasi dapat utk B; apakah ini riba ?? . Tks
J:
YA RIBA
* Memang begitulah praktek yg beredar di masy
kita... perlu pemahaman yg benar sehingga terhindar dari riba...
11. T: Terkait dg resume ttg Hadits Usamah bin
Zaid " ssungghnya riba itu hny pada Nasi ah / tempo, mohon penjlsannya
mksd dri kata tempo tsb.
J: Riba tidak hanya pada nasiah dan tempo...
maka kita harus banyak membaca hadis hadis rasul saw tidak hanya baca satu
hadis kemudian mengambil keputusan...
Lihat bagaimana hadis hadis yg menggambarkan
bgmn rasul saw sgt piawai menutup pintu pintu riba...
Sbg contoh rasul saw mengharamkan jual beli
'ainah
*Contoh:
Jual beli 'ainah itu sbg berikut
Si a perlu uang 5 jt dan mau minjam ke b
Si b gak mau kasi pinjam krn tak memberi untung
Si a bilang ; hai b saya beli laptop mu 6 jt
kredit
Si b : boleh
Stelah akad
Si a bilang lagi ini kan sdh laptop saya..
Sy mau jual 5 jt cash
Si b ambil laptop dan ngasi 5 jt ke a
Si a terima 5 jt dan tinggal cicil 1 jt perbln
selama 6 bln...
*Liat akad pertama boleh kah jual beli kredit
laptop 1jt perbln selma 6 bln?
>> Boleh
*Kemudian kl kita jual laptop seharga 5 jt
padahal belinya 6 jt.. bolehkah?
>> Tentu boleh
*Terus mengapa Rasul saw mengharamkannya...?
>> Krn rasul meliat ini peluang riba
pinjam 5jt kemudian mengembalikan 6 jt secara cicil....
Maka rasul saw mengharamkannya...
## Ada beberapa macam riba spt yg disebut di
makalah
Ada riba nasi ah
Riba nasi ah riba yg untung atau bunga nya
ditentukan sekian persen.. tambah waktu bertambah pula bunganya..
1 bln pengembalian tak sama dgn masa 2 bln 3
bln dst.
12. T: Afwan tadz, mau tanya dari pertanyaan
nmr 1 poin #4
Kenapa kredit motor itu bukan termasuk riba
tadz? Klo kita kredit motor biasanya ada bunga nya dan klo trlambat bayar ada
dendanya, trus misalnya klo telat 3 ato 4 x maka pihak pengkredit berhak untuk
menarik/mengambil motor tsb. Apakah itu bukan termasuk riba karena bisa
merugikan sepihak?
Mohon penjelasannya tadz..
J:
Jual beli kredit boleh.. krn bayarnya nyicil..
artinya si pembeli msh berhutang ke penjual..
Maka berlakulah kaedah hutang yg tak dibayar
pada waktunya.. islam mengharamkan denda.. adapun sita dlm islam dibenarkan tp
tidak full diambil oleh yg berpiutang tak sita yg dibolehkan adl barang
tersebut dijual seharga pasaran dan diambil sejumpal hutang yg bersangkutan dan
sisanya dikembalikan...
13. T: Bagaimana hukum mengambil PMPM yg di ada
di kmpung2???
J: Krn masih menerapkan sistem bunga dan riba
maka haram..
Tp bg org yg terpaksa menggunakan uang haram
tsb krn darurat dibolehkan sesuai dgn keperluannya saja... tp ini khusus org yg
tak mendapatkan pembiayaan utk keperluannya saja...
***
Akhawati fillah
Berusahalah agar terhindar dari riba...
Krn riba terkecil dosanya sama dgn seorg lk
berzina dgn ibu kandungnya..
Atau seorg anak pr berzina dgn ayahnya...
Dahsyat sekali dosanya..
Rasul saw pernah memprediksi suatu saat manusia
tak bisa lepas dari riba paling tidak kena debu riba dan dosa sma dgn zina tsb
di atas..
Saya melihat kondisi sekarang kita sgt sulit
terlepas dari riba..
Mari perbanyak istighfar...
** Ada kaedah yg berbunyi
كل قرض
جر فيه نفع فهو ربا
Setiap peminjaman yg diambil manfaat maka itu
adl riba...
Kita meminjam uang kemudian dgn pinjaman tsb yg
meminjamkan mengambil uang lebih itu disebut riba
14. T: Ustadz mau tanya misalnya si A minjam
uang sama si B,
si B tidak menetapkan bunga, namun pd saat si A
mengembalikan uangnya memberikan lebih sebagai ucapan terimakasih. Apakah itu
termasuk riba juga ustadz?
J: Tidak termasuk riba..
Tp jgn menjadi budaya atau tersistem.. kl
minjam sama dia memang tak ada tarif tp saling pengertian laah... kl tersistem
dan menjadi budaya hukumnya haram....
15. T: Ustad mau nanya..bgmn dgn kondisi org yg
mendapatkn beasiswa penddkn dr pemerintah dgn membuka rek.bank konvensional utk
transfer wangnya secara berkala,setiap semester.dan sdh ditentukn nama bank.tdk
bs dgn bank syariah.bgm ustd..
J: Kondisi spt itu maka hukumnya boleh krn
darurat atau terpaksa...dgn catatan dia hanya mengambil uang pokoknya saja..
Adapun bunganya dia tidak boleh ambil dan
diserahkan utk kemaslahatan umum spt pembangunan jalan dsb..
16. T: Bagaimana penggunaan internet banking
dan atm ( utk memudahkn pelayanan,seperti byr pulsa,listrik,dll) yg menggunakan
bank konvensional,atau dgn atm syariah banking yg msh ada hubungan
kerjasamanya.
J: Hukum dasar riba haram..
Namun berinteraksi dgn lembaga ribawi kl terpaksa
dibolehkan sebatas keperluannya yg tak bisa lepas dari siaten tsb... tp
bunganya tetap tak boleh diambil
17. T: Saya dan beberapa teman mau membuat
koperasi syariah.
Pinjaman tanpa bunga.
Tapi ada yg sedikit membingungkan yaitu infaq
sukarela bagi yg meminjam, tidak dibatasi jumlahnya, tidak memberi infaq pun
tidak apa2.
apa itu termasuk riba?
J: Tidak termasuk riba...
Krn tidak ada riba dan yg ada adl infaq yg tak
mengikat harus berinfaq dan tak ada ketentuan minimal dan besarannya
18. T: Satu pertanyaan lg..skrg marak arisan
buku yg keuntungan dr hasil bulanan didapat bisa diatas 30%,apakh termasuk riba
ustad? Afwan,bertanya diakhir,krn br plg dr acr.
J: Yg dimaksud arisan buku apakah beli buku
secara kolektif san bergilir? Kl begitu tak termasuk riba... dan krn kolektif
tentu ada untung dan untung itu halal...
19. T: pak ustad saya msh bingung dgn kredit
rumah pki bank konvensional.
Kan ada bunga n denda knp tdk termasuk riba
yaa?
J: Jual beli kredit satu masalah dan selesai ya
boleh..
Masalah yg lain adl maslah denda... ini yg saya
katakan tidak sesuai dgn syariah islam.. oleh karenanya saya sarankan utk
disiplin membayar sehingga tak kena denda..
Adalah keuntungan yg diambil bank krn kredit
itu adalah untung dari penjualan kredit dan itu boleh..
Kemudian maslah sita menyita kl tak sanggup
bayar ini juga bertentangan dgn syariah.. yg benarnya adl barang yg disita dan
dijual sesuai harga pasar da diambil sejumlah hutang yg bersangkutan...
20. T: terkait pertanyaan nmr. 18 Tidak
bergilirustad.tpkita membayar selama sepuluh 10 bulan ke perusahaan dan kl
dibeli cash sangat jauh harganya.bisa diatas 30 %..dan org yg mempromosikn ke
kita mendapat keuntungan jg yg lumayan.apakah keuntungan yg didapat teman kita
itu riba? Dan bgmn dgn perusahaan tersebut? Riba atau bukan ya ustd?
J: Bukan riba itu adla membeli buku secara
kredit atau bayarnya nyicil...
21. T: ustadz mau nanya lagi....
Dari resume ada disebutkan Tidak boleh ada dua
akad dalam satu akad jual beli maksudnya bagaimana yaaa ustadz?
J: Tidak boleh dua jual beli dlm satu akad..
Artinya sdh akad jual beli tp harga ada dua 200
kalau bayar sekarang dan 2000 kl bayar bulan depan...si pembeli pulang dan
melihat kondisi ekonominya apakah bayar 200 atau 2000...jd sdh terjadi jual
beli tp harga ada dua dan tak jelas mana yg akan menjadi harga...
22. T: Jika bunga dr bank konvensional itu tdk
utk dimakan tpi utk membyr KPR misalnya apa boleh Ustadz?
J: Tetap tak boleh...
Para ulama hanya memboleh kan menggunakan uang
haram hanya utk kemaslahatan umum...
* Oh gitu ya Ustadz?
Kmaslahatan umum itu contohnya apa Ustadz?
J: Contonya memperbaiki jalan umum.. toilet
umum...jembatan dll
23. T: Pak ustad klu yg bekerja d bank bgm ya
ustad.
Bank konvensional, BI
Ada mulai dr OB smp dirutnya apa hukum dr
pekerjaannya halal/haram ?
J: Boleh utk sementara waktu dan dia harus
mencari bank syariah atau lembaga keuangan yg lain sesuai dgn syariah...
24. T: Ustadz saya mau tanya bagaimana hukum
kredit card dan pegadaian apa kah itu trmasuk riba
J: Pegadaian konvensional sekatang adl riba dan
hukumnya haram.. berusahalah utk tidak berurusan dgn pegadaian tsb krn anda
berdosa.. berusahalah utk mencari pinjaman yg aman sesuai syariah islam..
Adapun kreedit card bank konvensional juga
haram dan sedapat mungkin tidak bertransakasi dgn kartu kredit tersebut..
kecuali terpaksa dan pastikan tidak menunggak krn tunggakan berakibat bunga...
25. T: Bagaimana hukum asuransi ustazd..seperti
asuransi pendidikan anak2 asuransi jiwa,kesehatan dll
J: Termasuk asuransi juga hrs todak menerapkan
sistem riba... kl asuransi konvensional biasanya pake riba dan hukumnya
haram...
Beralihlah ke asuransi syariah semoga berkah
26. Menggunakan fasilitas kartu kredit dgn bank
konvensional jg ga boleh ustad?
J: Seperti yg sy jelaskan di atas kita harus
hati hati jgn kena riba atau bunga walaupun kecil... tp kl terpaksa dibolehkan
dgn banyak banyak beristighfar...
27. T: Apakah ada upaya kita dgn memberdayakan
bank syariah utk membendung arus penggunaan kartu kredit konvensional
ustad..krn kl blm ada org pasti ttp menggunakn yg konvensional.krn tuntutan
pekerjaan jg.
J: Sekarang sdh ada kartu kredit syariah...
memang perkembangannya msh lambat... mdh2an ke depan bisa lbh cepat...
Perlu dukungan dan doa kita semua..
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
PENUTUP
Alhamdulillah.
Ukhtifillah ..
Semua pertanyaan sudah dijawab oleh ustadz..
Semoga semua paham dengan penjelasan yang telah
dipaparkan dan bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari hari.
Semoga semua ilmu yang kita dapat hari ini tak
hanya sekedar angin lalu deringan pemberitahuan whattsap saja.
Tapi bisa kita resapi dan pahami..
Baik..
Kita tutup sampai disini untuk kajian online
kelas fiqh hari ini.
Diharapkan ke depannya masih terus tersimpan
rasa penasaran akan ilmu serta semangat yang bertambah setiap harinya..
Kita tutup kajian kita dengan lafadz hamdalah,
istighfar dan do'a kafaratul majelis
Alhamdulillahirabbal'alamiin..
Jazakumullah khairan katsiran kepada ustadz
Muslim yang telah hadir bersama kami memberikan penjelasan untuk pertanyaan2
member
Afwan, jika ada kesalahan dari saya serta para
member ..
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji
bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.”O:)
Selamat rehat ukhtifillah..
Wassalamualaikum wr.wb
0 komentar:
Posting Komentar