REKAPAN MATERI KAJIAN FIQH 03 AKHWAT RUMAH DAKWAH INDONESIA
Hari/Tanggal
: Kamis, 30 April 2015
Admin & Notulen : Yumnaa & Maulida
Narasumber
: Ustadz Herman
Tema Kajian Fiqh : Riba dalam Islam
MUKADDIMAH
بسم الله
الرحمن الرحيم
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْه
ِ
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan
meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Barang siapa
mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan
barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan
keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari
kiamat.
Segala puji hanya bagi Allah yg telah
memberikan kesempatan kepada kita untuk bersama2 mengikuti kajian online pada
sore ini.
MATERI
RIBA DALAM ISLAM
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ – يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ
أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Satu dirham yang didapatkan dari
transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui
bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga
puluh enam kali” [HR Ahmad no 22008].
Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh,
tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam
mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’
(mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di
dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang
diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah
Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah:
“Penambahan pada dua perkara yang diharamkan
dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti
(bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan
qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba
nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang
diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat
diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang
masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan
tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang
dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan
sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama
oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164).
Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
(Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem
jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan
Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah:
275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah
Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin
Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam
Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya.
Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai
berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud z. Beliau berkata:
“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual
beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang
lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053,
Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161)
dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166)
menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan
bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas z, bahwa Rasulullah n
bersabda:
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah
adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah
(terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i
(7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul
habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang
yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan
kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku
beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan
riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah
menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk
menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan
termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di
antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR.
Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam
Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan
riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan
termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t
sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik
yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan
An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah
haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan
kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang
terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa
ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara
mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu
Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba
yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih
adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir
juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang
dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n
bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam
harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan).
Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang
meng-ambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq
‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan
6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang
terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain
bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini,
perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus,
‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga
dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu
‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada
sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam
Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh
Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para
masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini
dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang
lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya)
sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai
batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin
Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa
riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu
yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti
besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak
ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti
buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli
besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang
yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab
pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan
lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan tim-bangan… kecuali
takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga
disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang
lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik
itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1
jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk
barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua
gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan dirajihkan
oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa
riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma,
garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada
barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i
dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu
Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah
Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan,
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap
barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau
ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang
dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku
hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat
Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas
dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah
ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual
beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya
enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak
disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah
hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda
pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah
mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk
kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz (takaran
dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian
riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian
yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka
mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan
lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang
yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau
hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan
Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas
hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil
oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil t ditanya tentang masalah
ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena
riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah masuk
dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain.
Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar
sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada
sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat
(sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham
dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni
demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan
perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan
perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk
barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari
madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk
barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan,
platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu
diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan
adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang
yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya
tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu
riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar)
untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas
dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat
pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga
termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah
bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba
fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang
kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak.
Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis
pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu
riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh
seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan
oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas
disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat
tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai
alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli,
pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba
diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa
hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan
dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah)
pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah
(tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi
secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun
serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp.
1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang
dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima
di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai
nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau
sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di
pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di
pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang
pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui
sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui,
takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.
http://asysyariah.com/riba.html
Macam-macam Riba
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Afifuddin)
Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah
lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita.
Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan
bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu
disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait
dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah,
sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari
penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya
tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan
tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab:
“Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp
1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah
(melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di
awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B.
Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu
bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang
paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering
terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan
masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh
(riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada
orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak
jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp.
1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau
meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh
tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang
mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah
riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar
bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil
(5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang
dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap
pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau
penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk
riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah
yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya
keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam
meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada
saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli
yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000
sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini,
di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah
(koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun.
Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi,
maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat
penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan
praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa
bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase
dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan
sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya
dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung
atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi,
BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah
(bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan
seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan
pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil
usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi
maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul
muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka,
pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju
indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang
digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si
B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian
memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya
sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba,
namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu
pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti
pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian
harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh
meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits
riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai
ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti)
nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami
kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem
mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di
kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa
berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi
menghasil-kan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa
tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih
timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul
(kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim
dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba
fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba
fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua
dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di
antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat
Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar,
Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan
lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain
atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah
hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah
(tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang
lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah.
Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian:
Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan
diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i,
disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini
pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara
hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan
secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan
riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini
dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan
adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh
para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya
tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada
riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka
diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan
fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas
secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka
disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun
tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan
garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul
berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun
dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan
nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis.
Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak
disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu
menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di
sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang
masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas
disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma,
demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas
dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul
dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama
atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya,
emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya.
Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr
atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir,
kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah
bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n
bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr
dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun
bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila
tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua
atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma
dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang
dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam
An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu,
dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah
dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering
diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum
riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah
x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari seorang
Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli di sini adalah sya’ir
(termasuk jenis yang terkena hukum riba) seba-gaimana lafadz lain dari riwayat
di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau
perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju
besinya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan
15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 028
SESI TANYA JAWAB
1.
T : Ustadz, bagaimana hukum meminjam
uang/kredit dari bank atau koperasi,apakah itu termasuk riba juga? Jazakallah
atas jawabannya ustadz
J : Kalau bank dan koperasinya adalah
konvensional maka jelas haram maka harus mencari lembaga yg sesuai syariah.
2.
T : Ust. Afwan, kalau Bank Konvensional itu
termasuk riba. Lalu bagaimana dgn bank syariah yang sistem simpan pinjam nya
tdk dgn bagi hasil ?
J : Bank konvensional jelas riba, kalau bank
syariah maka boleh bila bank tsb mengikuti fatwa syariah dari MUI dan tidak
melanggar aturan syariahnya
3.
T : Ustadz, bagaimana dg hukum kredit rumah,
kendaraan? Tidak memiliki banyak uang, jika tidak dg cara kredit/dicicil ust.
J : Kredit rumah dll maka ke bank atau lembaga
syariah shg tdk dg sistem riba. Tp dengan sistem murobahah atau sekarang mulai
banyak perusahaan property yg membuat rumah tanpa bunga tapi dengan sistem
harga yg fix
4.
T : Ustadz saya mau bertanya, apakah reksadana
termasuk riba juga? ada keinginan juga mau ikut reksad ana tapi jenis
syariahnya. Syukron ustadz..
J : Reksadana syariah maka boleh/tidak riba
5.
T : Assalamualaikum ustadz ingin bertanya
bagaimana hukumnya jika kita bekerja di bank konvensional yg umumnya banyak
menggunakan sistem riba,,mohon atas jawabannya.
J : Wa'alaikumussalam...kerja di bank
konvensional maka haram karena jelas riba
6.
T : Ustazd mau tanya... Jika terjadi sebuah
transaksi jual beli disuatu perusahaan...trs pd saat jatuh tempo tiba kita blm
juga bayar,akibatnya kita dikenakan by denda (bunga kertelambatan),pada saat
tagihan itu dtg sy cek trs sy acc paraf utk dibayarkan yg denda tadi,stlh sls
sy mnta acc atasan sy lg dan ternyata atasan sy gak mau paraf dg alsan itu kan
riba..wlpun kita dipihak yg terkena denda tagihan itu...apakah itu sm saja kita
berdosa y tadz sm yg mengeluarkan denda itu (bunga keterlambatan bayar utang)
J : Betul bahwa itu denda adalah riba,
seharusnya dibuat perjanjian awal bahwa tdk ada denda kalau terlambat tp ada
sangsi selain denda.
7.
T : Dalam HR Ibnu Majah diatas dikatakan riba
ada 73 pintu. Apa aja pintunya ustadz?
J : Penjelasannya memang tdk ada mengenai 73
tsb tp kurang lebih banyak pintu seperti riba jual beli, riba simpan pinjam,
pegadaian, investasi, tukar menukar, denda, dll
8.
T : Maksud dari dua akad dalam satu akad jual beli apa ya ustadz?
J : Dua akad dalam 1 transaksi banyak contohnya
:
- beli barang sekian maka akan dapat hadiah
sekian
- perjanjiam sewa tapi dalam tahun sekian
menjadi hal milik dll
9.
T : Klo mis penjual mengatakan bahwa: harga
baju ini klo cash sekian, kalo kredir sekian. Itu bagaimana hukumnya ustdz?
J : Akad tersebut boleh karena memang ada harga
yg beda antara tunai dan kredit asalkan kreditnya tdk memakai riba
10.
T : apakah dlam jual beli ketika mengambil
keuntungan d atas 50prsen termasuk riba?
J : keuntungan jual beli dalam pendapat yg
diikuti banyak ulama maka boleh berapa saja, tdk dibatasi 30 persen, 100 persen
dll asalkan tdk mendzolimi konsumen
11.
T : orang yg memakan riba tapi di pakainya
untuk bertindak gimana hukumnya?
J : Riba hukumnya haram, dipakai utk apa saja
maka haram
12.
T : afwan ustadz mo tny kita sdh tau klo hukum
MLM itu haram,yg ingin ana tnykn bgmn hukum franchise/waralaba itu sndiri,
jazaakallahu khoiron pnjelasannya...
J : Waralaba maka hukumnya boleh asalkan
produknya halal.
13.
T : Hukum dropship apa sejenis riba ustadz?
J : Dropship dilarang yg dibolehkan adalah
sistem agen/makelar atau dalam islam disebuy samsarah..yaitu menjadi agent dg
perjanjian mendapatkan keuntungan dari pemilik barang
14.
T : Perbedaan antara riba, SHU dan bagi hasil
dimana ustadz
Semuanya mengambil untung
J : Riba sudah dijelaskan diatas ya, kalau Shu
(sisa hasil.usaha) adalah keuntungan dari hasil usaha yg halal kalau shu dari
transaksi yg haram maka dilarang.
Bagi hasil (mudhorobah) sistem kerjasama yg
halal dalam islam dimana hasil keuntungan ditentukan bersama dan naik turun
sesuai keuntungan yg diperoleh dan kalau rugi juga ditanggung bersama.
15.
T : Saat ini sedang marak paytrend, apakah
termasuk MLM juga, sebab jg mencari member
J : Paytren itu sistemnya sepertk MLM dan bbrp
kaidah yg melanggar syariah spt mendapat fee perekrutan member, harga setoran
awal yg tdk sesuai dg harga barang dll. Jadi sebaiknya menunggu fatwa halal
dari MUI
16.
T :
Afwan ustadz perjanjian itu sudah disepakati sm perusahaan yakni owner
langsung dg supplier itu sdri mrk non islam..sdngakan atasan saya
muslim..apakah berpengaruh juga untuk yg muslim y tadz
J : Kesepakatan tsb walau dg non muslim maka
harus sesuai aturan islam krn akan berdampak bagi muslim krn ada unsur2 riba
dalam transaksinya
17.
T : Ustadz apa itu berarti asuransi apapun
bntuk nya jg riba...??
J : Asuransi ada yg halal dan ada yg haram.
Asuransi syariah insya Allah halal
18.
T :
Walaupun kita sama sama dengan senang hati dan iklas melakukannya, tanpa
paksaan dan kesadaran pribadi apa termasuk haram juga ustadz, sebab kepepet
J : Walau sama2 ikhlas tp ada unsur riba maka
haram. Misalnya sama2 senang berzina tp tetap dosa karena zina.
19.
T : Kita naik haji dan umroh memakai uang riba,
bagaimana ustadz, dan kita ingin bertaubat bagaimana caranya, apakah ibadah
tadi perlu kita ulang lagi
J : Tentu dosa beribadah misal haji dg harta
riba. Taubatnya maka drngan memohon ampun, lalu mencari rizwi yg halal dan
perbanyak ibadah termasuk shadaqah dg harta yg halal
20.
T : Saya
mau brtanya ustadz, apabila kita meminjkan uang pada seseorang, kmudian saat
membayar dia mmberikan uang lebih sebagai ucapan trimksih krna sdh meminjaminy
uang, apakah uang tersebut termasuk riba?
J : Mengembalikan pinjaman dg menambahi
dibolehkan asalkan ketika awal meminjam tidak diberikan syarat untuk menambahi.
Kalau disyaratkan walau dg becanda maka dilarang Misal nanti kalau bayar hutang
tambah kue ya dll...
21.
T : Kemudian bgaimna membersihkan uang hasil
riba ustadz?
J : Berhenti dari pekerjaan riba tsb bu.
Mencari rizqi yg halal dan shadaqah dari rizqi yg halal.
22.
T : Dropship kenapa dilarang Ustadz
J : Dropship dilarang karena menjual barang yg
tidak dimiliki, hanya melihat foto/tdk melihat barangnya secara langsung
23.
T : Apakah makam boleh dibangun menurut islam?
Aturannya sprti apa?
J : Dalam makam maka para ulama sepakat
mengharamkan membuat rumah2an dan menyemrn kuburan.
Cukup dengan gundukan tanah dg diberikan tanda
seperti batu nisan biasa
24.
T : Tentang jual beli secara kredit dan
investasi bagaimana ustadz. Kebetulan sy ada usaha, untuk menarik investor sy
beri keuntungan +5% plus cicilan tiap
bulan.
Apakah termasuk haram?
J :
Investasi kalau keuntungannya fix misal 4 persen maka itu riba. Harusnya naik
turun sesuai keuntungan yg didapatkan
25.
T : Ustadz boleh kah kalau kuburan
seseorang hanya di ltandai gundukkan
tanah dan dipakai mengubur yang lain lagi
J : Kuburan bila sudah penuh maka boleh utk
mengubur yg lain. Tulang2 yg lama disisihkan dg baik, jangan didzolimi
26.
T : Ustadz sarah pernah belajar saat di Mts ada
istilah riba lain selain riba Fadhl dan Nasi'ah, apa ya ustadz ana lupa?
J : Ada lagi nama riba disebut riba jahiliyah
yaitu gabungan dari riba nasiah dan fadl.
27.
T : Oya ustadz bagaimana dengan konsumen yg
telah dibohongi dgn riba tanpa sepengetahuan konsumen itu, apa termasuk salah
bila sudah beli disana?
J : Konsumen yg ditipu maka tidak berdosa
karena tidak tahu
28.
T : Bagaimana menjelaskan kpd saudara yg sudah
lama berkecimpung/kerja di bank konvensional ya ustadz?
J : Sebaiknya diberikan materi tausyiah atau
buku atau diajak ke pengajian yg membahas tentang riba dan bahayanya bagi
kehidupan dunia dan akhirat
29.
T : Ustad, berarti orang yg meminjam/ dikenai
riba termasuk berdosa??
J : Betul yang meminjam juga terkenai riba.
30.
T : Apakah orang-orang yang bekerja di bank yang
mempraktikkan riba juga terjerat dalam perbuatan riba? Bagaimana jalan
keluarnya supaya mereka tidak terjerat riba?
J : Betul terkena riba, solusinya maka harus
keluar mencari pekerjaan lain yg halal.
31.
T : Saya punya kerabat yg kerja di bank konvensional
sudah puluhan tahun, dan sekarang penyakitnya banyak sekali, apa termasuk
akibat dr ia bekerja disana ya ustadz?
J : Wallahu'alam mungkin itu bagian dari
balasan di dunia karena masalah riba
32.
T : Bagaimana membersihkan uang hasil riba
ustadz?
J : Berhenti dari pekerjaan riba tsb bu.
Mencari rizqi yg halal dan shadaqah dari rizqi yg halal.
33.
T : Ustadz.
Uang Riba itu khan haram
Jika dibelikan makanan.
Ngaruh ga ustadz buat kondisi keimanan yg makan
tuh makanan dr hasil riba??
J : Makanan haram akan membuat doa2 kita tdk
diterima Allah dan diakhirat akan disiksa
34.
T : Tapi ustadz. Gmana kalau yg makan itu ga
tau kalau itu malanan yg dbeli hasil Riba??
J : Kalau tidak tahu maka tidak dosa, tapi
kalau sekarang tahu maka harus banyak istighfar/taubat dan ibadah lain termasuk
shadaqah
35.
T : Jika terdesak kebutuhan sehari" terus
pinjam di bank dengan bunga sekian %
tiap bulan dan sekarang angsuran baru 1/2 angsur solusinya gimana?
J : Itu haram dan sebaiknya mencari
saudara/teman yg bisa meminjami tanpa bunga. Kalau kebutuhan sehari2 kan tdk
besar seharusnya dan makin dekat kpd Allah agar diberikan rizqi yg barokah
36.
T :
Bagaimana tanggapan dengan bank syari'ah di indonesia ini. Bank apa yg
sebaiknya kami pakai ?
J : Bank syariah itu baik walau ada kekurangan.
Tp semoga akan semakin baik dan semakin syariah.
Dari pengamatan maka yg lebih baik
kesyariahannya adakah bank muamalah, bsm
37.
T : Jika kami harus memakai bank tertentu
seperti BNI yg itu memang harus menjadi bank nya kampus sekaligus di belakang
atm nya itu kartu mahasiswa ustadz
J : Tidak masalah ukhti kan hanya jasanya saja.
Menyimpan uangnya dipindah ke bank syariah saja
38.
T : Ustadz.
Bagaimana jika uang Riba dipakai untuk modal menikah?
J : Yg jelas harta riba juga dosa bila buat
menikah..maka harus taubat.
39.
T : Jika dapat beasiswa yg di dalamnya terdapat
dapat kecurangan apakah itu dosa ustadz ?
Jika kita tidak tahu
J : Yg dosa adalah yg berbuat curang, kalau
kita tdk curang dalam mendapatkan beasiswa maka tdk masalah
40.
T : Bagaimana perjanjian dengan abang tukang
buah, yg mana buahnya masih dipanen belum masak ustadz?
J : Jual beli buah maka buah harus siap utk
dipanen, kalau masih bunga, kecil maka dilarang. Termasuk beli padi yg masuh
hijau juga dilarang
41.
T : Ketika membuat sebuah proposal bantuan
untuk sebuah TK, nah disana TK tersebut dapat 10 juta, 3 juta diberikan khusus
pada kepala desa, bagaimana itu ustadz ?
J : Pemberi 3 juta kalau itu masuk biaya resmi
dan masuk dalam laporan pertanggung jawaban maka boleh tp kalau dibawah tangan
maka tentu itu dosa karena termasuk sogok/riswah
42.
T : Ustadz bagaimana klo ada seorang teman
menitipkan beli barang sama kita krna harganya jauh lbh murah ketimbang
ditempat lain..trs kita naikan sdkt dg alasan utk byr transport tp harga ttp
diberikan jg msh murah,apakah sudah riba juga
J : Kalau pihak teman membehkam kita menambah
harga utk dapat tambaham keuntungan maka boleh dan bukan riba.
43.
T : Apakah termasuk riba jika seseorang datang
kepada saya untuk meminjam uang untuk modal beternak sapi.
Saya beri sejumlah uang ke peminjam untuk
membelikan saya sapi tersebut (karena saya sibuk, maka yang pergi membayar
bukan saya tapi peminjam) dengan harga 4 jt. Lalu sapi tersebut sy jual ke
peminjam dengan harga 4,2 jt tapi dibayar 1 minggu kemudian.
Apakah ini juga riba?
Maap bahasanya membingungkan.
J : Betul, saya jg bingung gmn jawabnya karena
belum paham
44.
T : Investasi kalau keuntungannya fix misal 4
persen maka itu riba. Harusnya naik turun sesuai keuntungan yg didapatkan.
Berarti keuntungan perbulannya bisa sy rubah kah ustadz,
J : Betul diubah sesuai besar kecilnya
keuntungan usaha
45.
T : Bagaimana status keuntungan teman sy yg
invest modalnya ke sy tadi
J : Kalau sistemnya belum dirubah maka jadi
haram karena riba. Maka sebaiknya dibicarakan ulang tentang konsep bagi
hasilnya agar sesuai islam
46.
T : ada seseorang hutang kepada keluarga sy
dengan jaminan sawah, dengan perjanjian bahwa orang tsb akan memanfaatkan sawah
yang digadaikan tersebut lalu sebagian persennya diberikan kepada si keluarga
sy . Itu bagaimana ustadz, hukumnya
J :
Menggadaikan dg jaminan sawah boleh, dimana sawah dikelola oleh yg
memberikan pinjaman, hasilnya dibagi dua utk melunasi hutang dan buat yg
memberikan hutang
47.
T : Hukum asuransi jiwa seperti manulife itu
bagaimana ya ustadz, di keluarga sy uang asuransi jiwa tsb akan cair saat adik
sy masuk SMA
T :
Asuransi kalau konvensional maka haram.tp kalau syariah spt takaful dll
maka halal
48.
T : Katanya BPJS trmasuk Riba juga ya ustdz?
J : BPJS memang ada ulama yg menyatakan riba
karena ada denda ketika terlambat bayar premi
49.
T : Kalau beli buku online apa termasuk haram??
Hehe
J : Beli buku online boleh asalkan pihak
penjual memang menjual barangnya bukan dg sistem drop ship
50.
T : Lalu
apakah sama, status tukang riba dgn korban riba,
J :
Pihak pemberi riba, penerima, pencatat dan saksi semua sama dosanya.
Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi
makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda:
“Mereka itu sama.” (HR. Muslim)
51.
T : Apakah riba jg beli rumah dgn cr kredit
bank pemerintah(karena program subsidi)?
J : Jual beli kredit rumah subsidi perlu.dicek
sistemnya.
Kalau.kredit dg harga fix misal harga kredit
100 jt dicicil sekian tahun maka itu boleh
Tapi kalau cicilan naik turun sesuai bunga bank
maka haram
52.
T : Tentang hukum atm dan kartu kredit
bagaimana ustadz
J : Kartu kredit bila bank konvensional maka
haram karena ada riba, kalau bank islam maka boleh.
Atm itu hanya alat utk ambil uang dg biaya
tertentu jadi boleh
53.
T : Ust, jadi dropship di larang ?
J : betul drop ship.dilarang bila menjual
barang yg tdk dimiliki, sebaiknya jadi re seller atau agent saja yg
disepkati.dg pihak yg memiliki barang
54.
T :
Tentang atm, kadang jika saldo kurang, yg ada saldo kita yg kena
potongan, itu bagaimana ustadz
J : Memang betul dipotong biaya karena sistem
jasa utk atm.
55.
T : Juga
tentang arisan online, bagaimana itu ustadz
J : risan yg normal itu boleh misal arisan uang
gantian yg dapat.
56.
T : Misalnya arisan karpet
J : Tp kalau arisan karpet yg dapat gantian dan
uangnya bisa naik karena harga karpet berubah maka menjadi haram.krn ada riba
57.
T : Jika
sudah terlanjur ikut, arisan online bagaimana? Sedangkan uang sudah terlanjur
ditransfer dan qt tau itu riba, apakah uang tsb qt ambil lagi, sebab
kesepakatannya uang ga bisa ditarik lagi
J : Diikhlaskan saja dan tdk usah diteruskan
arisannya
=====>>>>>>>>>>>=========>>>>>>>>======>>>>
PENUTUP
Baik..
Kita tutup sampai disini untuk kajian online
kelas fiqh hari ini.
Diharapkan ke depannya masih terus tersimpan
rasa penasaran akan ilmu serta semangat yang bertambah setiap harinya..
Semoga dipertemuan pekan depan, ukhtifillah
kembali dengan semangat yang lebih baik.
Dan pastinya dengan segudang pertanyaan terkait
materi yang akan dibahas.
Kita tutup kajian kita dengan lafadz hamdalah,
istighfar dan do'a kafaratul majelis
Alhamdulillahirabbal'alamiin..
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji
bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.”O:)
Selamat rehat ukhtifillah..
Wassalamualaikum wr.wb.