Artikel 30 April 2015

Pilihan Itu Bernama Dakwah
By : Melya Lestari

Ketika hati telah memilih Jalannya
Maka tak akan ada yang bisa mengalihkan pilihannya.
Ia akan kokoh dalam berprinsip.
Memegang teguh dakwah ataukah lari darinya.

Pilihan jatuh dalam pusaran dakwah ini adalah Pilihan hati.
Dakwah yang terus bergerak dengan atau tanpa adanya diri ini.
Dakwah yang Gerakannya fluktuatif.
Fluktuatif antara Irama Kesulitan dan Kebahagiaan.
Dakwah yang Penuh turbulensi.
Turbulensi yang bisa membentur arah logika dan realitas.
Membentur arah realitas beradu dengan perasaan.

Pilihan tetap atau pergi dari jalan Ini.
Tetap dengan menguatkan pijakan kaki.
Tetap dengan menguatkan hati.
Atau Pergi meninggalkan dan mencari yang lain.
Adalah pilihan yang akan menentukan kemana kita kembali.
Syurga dengan kemuliaan atau Neraka dengan kehinaan.

Jika kau pahami bahwa setiap benturan itu untuk menguatkanmu.
Dan setiap goncangan itu mendewasakanmu.
Lalu Engkau Tetap Bertahan.
Bertahan dengan kekuatan pertahanan yang paling kokoh.
Yaitu Berdiri karena Allah Hingga tak ada lelah yang singgah.
Karena semua Hanya karena totalitas lillah.
Reposted by
® Rumah Dakwah Indonesia
==================================================
Agar Hidup Anda Terarah dan Tak Goyah
       〰〰〰〰〰〰
1. Bahwa tujuan Utama hidup Anda adalah untuk Beribadah kepada Allah, yakni mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan, dg menerapkan sunnah dan menjauhi bid'ah.
Dengan menyadarkan diri pada hal ini, hidup kita akan sangat terarah dan terfokus pada satu tujuan utama, hingga kita tidak akan bingung memilih pilihan hidup mana yang kita kedepankan.
Dengannya pula kita akan berusaha menjadikan pekerjaan kita sebagai ibadah, sehingga kita akan tulus menjalaninya tanpa pamrih, karena Semuanya akan dibalas oleh Allah yang maha mensyukuri amal para hamba-Nya.

2. Bahwa semuanya telah Ditaqdirkan.
Dengan menyadarkan diri pada hal ini, kita akan Tenang dalam menjalani hidup, karena kita yakin rezeki yang menjadi bagian kita tidak akan bertambah maupun berkurang.
Dengannya juga, kita akan mantap untuk memilih jalan rezeki yang halal, karena hasilnya akan sama saja, baik kita memilih jalan yang haram maupun jalan yg halal.

3. Bahwa kita diperintah untuk Berusaha semampu kita, dan sesuai aturan syariat.
Dengan ini kita akan memahami, mengapa kita harus bekerja, padahal semua sudah ditakdirkan?!
Jawabannya, karena kita Diperintah untuk berusaha dan beramal, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
"Lakukanlah amalan/pekerjaan, maka semua orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yg menjadi tujuan dia diciptakan!" (Shahih Bukhari : 4949, Shahih Muslim : 2647).

4. Dalam melakukan usaha itu, pastinya ada cobaan dan rintangan... maka hadapilah dengan firman Allah ta'ala:
"Bisa saja kalian membenci sesuatu, padahal (sebenarnya) itu lebih baik bagi kalian" (QS. Al-Baqarah: 216).
"Bisa saja kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya". (QS. Annisa': 19)
5. Banyaklah berdoa, lalu yakinlah akan janji Allah bahwa Dia akan memuliakan dan memantaskan kehidupan orang yg beriman dan beramal saleh.
"Barangsiapa yang beramal saleh dalam keadaan beriman, baik dia pria maupun wanita, maka Allah sungguh benar-benar akan memberinya Kehidupan yg baik/mulia". (QS. An-Nahl : 97)
Semoga bermanfaat...
Oleh : Ustadz Musyaffa Ad-Dariny
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
♦Reposted by
®Rumah Dakwah Indonesia
===================================================
OASE DAKWAH
Kamis, 30 April 2015
               
               
      Aku Miliki Cinta
     Oleh : ummu adib
               
               
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang selalu membuatku khawatir tak dapat jumpa dengan-Nya di masa akhir.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang selalu membuatku mengikuti apapun keputusan-Nya walau kadang hatiku terasa nyeri dan gontai utk bertahan dalam keadaan itu.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang membuatku mencintai Rasulullah, terus berusaha meneladani setiap langkah yang ia lakukan, mencermati dan meniti shiroh kehidupannya.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang membuatku terus mengkaji Quran... membersamainya tiap waktu, walau kerap tiap kali bersamanya, airmata selalu jatuh.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang selalu membuatku bergerak, melangkah... meniti perjalanan kehidupan ini bersama dengan insan-insan yang pun merindu perjumpaan dengan-Nya.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang selalu menyemangatiku untuk terus berbagi hati, berbagi cinta dan berbagi ilmu dengan insan-insan yang jua mencintai-Nya.
Aku memiliki cinta, cinta Rabb-ku yang melapangkan qalbku, membuat diri terus tersenyum... walau angin ujian terus berhembus. Angin yang sejatinya Rabb-ku kirim untuk menyejukkan dan menggemburkan qalbku yang kering dan gersang.

"Ya Allah,
aku tundukkan wajahku kepada-Mu,
aku pasrahkan urusanku kepada-Mu,
aku sandarkan punggungku kepada-Mu,
karena rasa takut dan penuh harap kepada-Mu.
Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari hukuman-Mu kecuali kepada-Mu."
[HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710]
#Semangat Tilawah
#Semangat Menjadi Pribadi Indah
Divisi Tarqiyah Imaniyah PSDM ODOJ
DTI/31/30/04/2015
oaseodoj@gmail.com
Reposted by

®Rumah Dakwah Indonesia
==================================================
Berakhlaq Mulia Kepada Manusia

Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini :

1. Kafful adza (menahan diri dari mengganggu)

2. Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai)

3. Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah).

Kafful adza : yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.

Badzlu nada : yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.

Sedangkan Thalaqatul wajhi adalah : dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah husnul khuluq.

Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk husnul khuluq juga.

Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’ala

(Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh al-Utsaimin, II/387)

Reposted By
®Rumah Dakwah Indonesia
=====================================================
Bismillah

# Jadwal Ayyamul Biidh th 2015

 بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ  

Berikut jadwal Ayyamul Biidh (tgl 13-15 bln Hijriyah) sbb: 
- Bln Rb Awwal 1436 H : Tgl 4-6 Jan 
- Bln Rb Tsani: Tgl 3-5 Feb 
- Bln Jum Ula: Tgl 4-6 Mar 
- Bln Jum Tsaniyah: Tgl 3-5 Apr 
- Bln Rajab: Tgl 2-4 Mei 
- Bln Sya'ban: Tgl 31/5 - 2/6
- Bln Ramadhan: Tgl 30/6 - 2/7 
- Bln Syawwal: Tgl 29-31 Jul  
- Bln Dzulqa'dah: Tgl 28-30 Agt
- Bln Dzulhijjah: Tgl 27-29 Sep 
- Bln Muharram 1437H: Tgl 26-28 Okt 
- Bln Shafar: Tgl 25-27 Nov
- bln Rb Awwal: Tgl 25-27 Des  

Sumber:  
• http://efalak.kemenag.go.id/KalenderPerTahun.aspx 
• Almanak resmi MUI Pusat Th 2015 
Silakan di-share. Smg info ini bermanfaat.
Reposted By
®Rumah Dakwah Indonesia
====================================================
JANGAN HIZBIYAH
Ust. Badrusalam LC

Alhamdulillah..
Banyak saudara/i kita yang berlomba kepada kebaikan..
Tuk menebar sunnah..
Mengajak manusia kepada jalan Allah..
Majelis majelis taklim merebak..
Grup - grup BB merambah..
Berbagai media telah menjadi wasilah..
Namun..

Ada sesuatu..
Terkadang kita terkena ujub..
Merasa telah berjasa untuk dakwah..
Padahal..
Kalau bukan karena Allah yang memberi hidayah..
Tentu kita tersesat jalan..
Robbuna berfirman:
بمنون عليك أن أسلموا قل لا تمنوا علي إسلامكم بل الله يمن عليكم أن هداكم للإيمان

Mereka mengungkit keislaman mereka kepadamu. Katakan, “Janganlah kamu mengungkit keislaman kalian kepadaku, tetapi Allahlah yang memberikan kepada kalian hidayah kepada iman.” (Al Hujurot: 17).
Pujilah Allah atas nikmat hidayah sunnah..
Pujilah Allah yang telah memberi kekuatan menebar sunnah..
Ada sesuatu lain..
Ya.. Ini juga penting..
Radio, televisi, grup BBM, facebook dan sebagainya..
Hanyalah wasilah dan bukan tujuan..
Namun..
Terkadang kita berbangga dengan nama…
Sehingga menjerat kita dalam tali hizbiyyah..
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
ولا تكونوا من المشركين من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا كل حزب بما لديهم فرحون

"Janganlah kalian seperti kaum musyrikin. Orang-orang yang memecah belah agama dan mereka menjadi berkelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar Ruum: 31-32).
Inilah hakikat hizbiyyah..
Berbangga dengan nama organisasi..
Berbangga dengan ustadz fulan..
Berbangga dengan radio anu..
Lalu memberikan loyalitas dan permusuhan di atasnya..
Musibah.. Saudara/i ku..
Itu adalah sebagian kecil dari penyakit dakwah..
Yang merusak pejalanan mulia ini..
Semoga keberkahan selalu menyapa kita di hari ini.Aamiin
Reposted By

®Rumah Dakwah Indonesia
REKAPAN MATERI KAJIAN FIQH 03  AKHWAT RUMAH DAKWAH INDONESIA
Hari/Tanggal         : Kamis, 30 April 2015
Admin & Notulen  :  Yumnaa & Maulida
Narasumber          : Ustadz Herman
Tema Kajian Fiqh : Riba dalam Islam
MUKADDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْه
ِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.
Segala puji hanya bagi Allah yg telah memberikan kesempatan kepada kita untuk bersama2 mengikuti kajian online pada sore ini.
MATERI
RIBA DALAM ISLAM

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ – يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” [HR Ahmad no 22008].
Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah:
“Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya.
Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Atsar Ibnu Mas’ud z. Beliau berkata:
“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”

2. Hadits Ibnu Abbas z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”

Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”

Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.

Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang meng-ambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam

Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan tim-bangan… kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.

Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil t ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.
http://asysyariah.com/riba.html

Macam-macam Riba
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari seorang Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) seba-gaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi

Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 028
SESI TANYA JAWAB
1.
T : Ustadz, bagaimana hukum meminjam uang/kredit dari bank atau koperasi,apakah itu termasuk riba juga? Jazakallah atas jawabannya ustadz
J : Kalau bank dan koperasinya adalah konvensional maka jelas haram maka harus mencari lembaga yg sesuai syariah.

2.
T : Ust. Afwan, kalau Bank Konvensional itu termasuk riba. Lalu bagaimana dgn bank syariah yang sistem simpan pinjam nya tdk dgn bagi hasil ?
J : Bank konvensional jelas riba, kalau bank syariah maka boleh bila bank tsb mengikuti fatwa syariah dari MUI dan tidak melanggar aturan syariahnya
3.
T : Ustadz, bagaimana dg hukum kredit rumah, kendaraan? Tidak memiliki banyak uang, jika tidak dg cara kredit/dicicil ust.
J : Kredit rumah dll maka ke bank atau lembaga syariah shg tdk dg sistem riba. Tp dengan sistem murobahah atau sekarang mulai banyak perusahaan property yg membuat rumah tanpa bunga tapi dengan sistem harga yg fix
4.
T : Ustadz saya mau bertanya, apakah reksadana termasuk riba juga? ada keinginan juga mau ikut reksad ana tapi jenis syariahnya. Syukron ustadz..
J : Reksadana syariah maka boleh/tidak riba

5.
T : Assalamualaikum ustadz ingin bertanya bagaimana hukumnya jika kita bekerja di bank konvensional yg umumnya banyak menggunakan sistem riba,,mohon atas jawabannya.
J : Wa'alaikumussalam...kerja di bank konvensional maka haram karena jelas riba

6.
T : Ustazd mau tanya... Jika terjadi sebuah transaksi jual beli disuatu perusahaan...trs pd saat jatuh tempo tiba kita blm juga bayar,akibatnya kita dikenakan by denda (bunga kertelambatan),pada saat tagihan itu dtg sy cek trs sy acc paraf utk dibayarkan yg denda tadi,stlh sls sy mnta acc atasan sy lg dan ternyata atasan sy gak mau paraf dg alsan itu kan riba..wlpun kita dipihak yg terkena denda tagihan itu...apakah itu sm saja kita berdosa y tadz sm yg mengeluarkan denda itu (bunga keterlambatan bayar utang)
J : Betul bahwa itu denda adalah riba, seharusnya dibuat perjanjian awal bahwa tdk ada denda kalau terlambat tp ada sangsi selain denda.

7.
T : Dalam HR Ibnu Majah diatas dikatakan riba ada 73 pintu. Apa aja pintunya ustadz?
J : Penjelasannya memang tdk ada mengenai 73 tsb tp kurang lebih banyak pintu seperti riba jual beli, riba simpan pinjam, pegadaian, investasi, tukar menukar, denda, dll

8.
T : Maksud dari dua akad dalam satu  akad jual beli apa ya ustadz?
J : Dua akad dalam 1 transaksi banyak contohnya :
- beli barang sekian maka akan dapat hadiah sekian
- perjanjiam sewa tapi dalam tahun sekian menjadi hal milik dll

9.
T : Klo mis penjual mengatakan bahwa: harga baju ini klo cash sekian, kalo kredir sekian. Itu bagaimana hukumnya ustdz?
J : Akad tersebut boleh karena memang ada harga yg beda antara tunai dan kredit asalkan kreditnya tdk memakai riba

10.
T : apakah dlam jual beli ketika mengambil keuntungan d atas 50prsen termasuk riba?
J : keuntungan jual beli dalam pendapat yg diikuti banyak ulama maka boleh berapa saja, tdk dibatasi 30 persen, 100 persen dll asalkan tdk mendzolimi konsumen

11.
T : orang yg memakan riba tapi di pakainya untuk bertindak gimana hukumnya?
J : Riba hukumnya haram, dipakai utk apa saja maka haram

12.
T : afwan ustadz mo tny kita sdh tau klo hukum MLM itu haram,yg ingin ana tnykn bgmn hukum franchise/waralaba itu sndiri, jazaakallahu khoiron pnjelasannya...
J : Waralaba maka hukumnya boleh asalkan produknya halal.

13.
T : Hukum dropship apa sejenis riba ustadz?
J : Dropship dilarang yg dibolehkan adalah sistem agen/makelar atau dalam islam disebuy samsarah..yaitu menjadi agent dg perjanjian mendapatkan keuntungan dari pemilik barang

14.
T : Perbedaan antara riba, SHU dan bagi hasil dimana ustadz
Semuanya mengambil untung
J : Riba sudah dijelaskan diatas ya, kalau Shu (sisa hasil.usaha) adalah keuntungan dari hasil usaha yg halal kalau shu dari transaksi yg haram maka dilarang.
Bagi hasil (mudhorobah) sistem kerjasama yg halal dalam islam dimana hasil keuntungan ditentukan bersama dan naik turun sesuai keuntungan yg diperoleh dan kalau rugi juga ditanggung bersama.

15.
T : Saat ini sedang marak paytrend, apakah termasuk MLM juga, sebab jg mencari member
J : Paytren itu sistemnya sepertk MLM dan bbrp kaidah yg melanggar syariah spt mendapat fee perekrutan member, harga setoran awal yg tdk sesuai dg harga barang dll. Jadi sebaiknya menunggu fatwa halal dari MUI

16.
T :  Afwan ustadz perjanjian itu sudah disepakati sm perusahaan yakni owner langsung dg supplier itu sdri mrk non islam..sdngakan atasan saya muslim..apakah berpengaruh juga untuk yg muslim y tadz
J : Kesepakatan tsb walau dg non muslim maka harus sesuai aturan islam krn akan berdampak bagi muslim krn ada unsur2 riba dalam transaksinya

17.
T : Ustadz apa itu berarti asuransi apapun bntuk nya jg riba...??
J : Asuransi ada yg halal dan ada yg haram. Asuransi syariah insya Allah halal

18.
T :  Walaupun kita sama sama dengan senang hati dan iklas melakukannya, tanpa paksaan dan kesadaran pribadi apa termasuk haram juga ustadz, sebab kepepet
J : Walau sama2 ikhlas tp ada unsur riba maka haram. Misalnya sama2 senang berzina tp tetap dosa karena zina.

19.
T : Kita naik haji dan umroh memakai uang riba, bagaimana ustadz, dan kita ingin bertaubat bagaimana caranya, apakah ibadah tadi perlu kita ulang lagi
J : Tentu dosa beribadah misal haji dg harta riba. Taubatnya maka drngan memohon ampun, lalu mencari rizwi yg halal dan perbanyak ibadah termasuk shadaqah dg harta yg halal

20.
T :  Saya mau brtanya ustadz, apabila kita meminjkan uang pada seseorang, kmudian saat membayar dia mmberikan uang lebih sebagai ucapan trimksih krna sdh meminjaminy uang, apakah uang tersebut termasuk riba?
J : Mengembalikan pinjaman dg menambahi dibolehkan asalkan ketika awal meminjam tidak diberikan syarat untuk menambahi. Kalau disyaratkan walau dg becanda maka dilarang Misal nanti kalau bayar hutang tambah kue ya dll...

21.
T : Kemudian bgaimna membersihkan uang hasil riba ustadz?
J : Berhenti dari pekerjaan riba tsb bu. Mencari rizqi yg halal dan shadaqah dari rizqi yg halal.

22.
T : Dropship kenapa dilarang Ustadz
J : Dropship dilarang karena menjual barang yg tidak dimiliki, hanya melihat foto/tdk melihat barangnya secara langsung

23.
T : Apakah makam boleh dibangun menurut islam?
Aturannya sprti apa?
J : Dalam makam maka para ulama sepakat mengharamkan membuat rumah2an dan menyemrn kuburan.
Cukup dengan gundukan tanah dg diberikan tanda seperti batu nisan biasa

24.
T : Tentang jual beli secara kredit dan investasi bagaimana ustadz. Kebetulan sy ada usaha, untuk menarik investor sy beri keuntungan +5%  plus cicilan tiap bulan.
Apakah termasuk haram?
 J : Investasi kalau keuntungannya fix misal 4 persen maka itu riba. Harusnya naik turun sesuai keuntungan yg didapatkan

25.
T : Ustadz boleh kah kalau kuburan seseorang  hanya di ltandai gundukkan tanah dan dipakai mengubur yang lain lagi
J : Kuburan bila sudah penuh maka boleh utk mengubur yg lain. Tulang2 yg lama disisihkan dg baik, jangan didzolimi

26.
T : Ustadz sarah pernah belajar saat di Mts ada istilah riba lain selain riba Fadhl dan Nasi'ah, apa ya ustadz ana lupa?
J : Ada lagi nama riba disebut riba jahiliyah yaitu gabungan dari riba nasiah dan fadl.

27.
T : Oya ustadz bagaimana dengan konsumen yg telah dibohongi dgn riba tanpa sepengetahuan konsumen itu, apa termasuk salah bila sudah beli disana?
J : Konsumen yg ditipu maka tidak berdosa karena tidak tahu

28.
T : Bagaimana menjelaskan kpd saudara yg sudah lama berkecimpung/kerja di bank konvensional ya ustadz?
J : Sebaiknya diberikan materi tausyiah atau buku atau diajak ke pengajian yg membahas tentang riba dan bahayanya bagi kehidupan dunia dan akhirat

29.
T : Ustad, berarti orang yg meminjam/ dikenai riba termasuk berdosa??
J : Betul yang meminjam juga terkenai riba.

30.
T : Apakah orang-orang yang bekerja di bank yang mempraktikkan riba juga terjerat dalam perbuatan riba? Bagaimana jalan keluarnya supaya mereka tidak terjerat riba?
J : Betul terkena riba, solusinya maka harus keluar mencari pekerjaan lain yg halal.

31.
T : Saya punya kerabat yg kerja di bank konvensional sudah puluhan tahun, dan sekarang penyakitnya banyak sekali, apa termasuk akibat dr ia bekerja disana ya ustadz?
J : Wallahu'alam mungkin itu bagian dari balasan di dunia karena masalah riba

32.
T : Bagaimana membersihkan uang hasil riba ustadz?
J : Berhenti dari pekerjaan riba tsb bu. Mencari rizqi yg halal dan shadaqah dari rizqi yg halal.

33.
T : Ustadz.
Uang Riba itu khan haram
Jika dibelikan makanan.
Ngaruh ga ustadz buat kondisi keimanan yg makan tuh makanan dr hasil riba??
J : Makanan haram akan membuat doa2 kita tdk diterima Allah dan diakhirat akan disiksa

34.
T : Tapi ustadz. Gmana kalau yg makan itu ga tau kalau itu malanan yg dbeli hasil Riba??
J : Kalau tidak tahu maka tidak dosa, tapi kalau sekarang tahu maka harus banyak istighfar/taubat dan ibadah lain termasuk shadaqah

35.
T : Jika terdesak kebutuhan sehari" terus pinjam di bank dengan bunga sekian %  tiap bulan dan sekarang angsuran baru 1/2 angsur solusinya gimana?
J : Itu haram dan sebaiknya mencari saudara/teman yg bisa meminjami tanpa bunga. Kalau kebutuhan sehari2 kan tdk besar seharusnya dan makin dekat kpd Allah agar diberikan rizqi yg barokah

36.
T :  Bagaimana tanggapan dengan bank syari'ah di indonesia ini. Bank apa yg sebaiknya kami pakai ?
J : Bank syariah itu baik walau ada kekurangan. Tp semoga akan semakin baik dan semakin syariah.
Dari pengamatan maka yg lebih baik kesyariahannya adakah bank muamalah, bsm

37.
T : Jika kami harus memakai bank tertentu seperti BNI yg itu memang harus menjadi bank nya kampus sekaligus di belakang atm nya itu kartu mahasiswa ustadz
J : Tidak masalah ukhti kan hanya jasanya saja. Menyimpan uangnya dipindah ke bank syariah saja

38.
T : Ustadz.
Bagaimana jika uang Riba dipakai  untuk modal menikah?
J : Yg jelas harta riba juga dosa bila buat menikah..maka harus taubat.

39.
T : Jika dapat beasiswa yg di dalamnya terdapat dapat kecurangan apakah itu dosa ustadz ?
Jika kita tidak tahu
J : Yg dosa adalah yg berbuat curang, kalau kita tdk curang dalam mendapatkan beasiswa maka tdk masalah

40.
T : Bagaimana perjanjian dengan abang tukang buah, yg mana buahnya masih dipanen belum masak ustadz?
J : Jual beli buah maka buah harus siap utk dipanen, kalau masih bunga, kecil maka dilarang. Termasuk beli padi yg masuh hijau juga dilarang

41.
T : Ketika membuat sebuah proposal bantuan untuk sebuah TK, nah disana TK tersebut dapat 10 juta, 3 juta diberikan khusus pada kepala desa, bagaimana itu ustadz ?
J : Pemberi 3 juta kalau itu masuk biaya resmi dan masuk dalam laporan pertanggung jawaban maka boleh tp kalau dibawah tangan maka tentu itu dosa karena termasuk sogok/riswah

42.
T : Ustadz bagaimana klo ada seorang teman menitipkan beli barang sama kita krna harganya jauh lbh murah ketimbang ditempat lain..trs kita naikan sdkt dg alasan utk byr transport tp harga ttp diberikan jg msh murah,apakah sudah riba juga
J : Kalau pihak teman membehkam kita menambah harga utk dapat tambaham keuntungan maka boleh dan bukan riba.

43.
T : Apakah termasuk riba jika seseorang datang kepada saya untuk meminjam uang untuk modal beternak sapi.
Saya beri sejumlah uang ke peminjam untuk membelikan saya sapi tersebut (karena saya sibuk, maka yang pergi membayar bukan saya tapi peminjam) dengan harga 4 jt. Lalu sapi tersebut sy jual ke peminjam dengan harga 4,2 jt tapi dibayar 1 minggu kemudian.
Apakah ini juga riba?
Maap bahasanya membingungkan.
J : Betul, saya jg bingung gmn jawabnya karena belum paham

44.
T : Investasi kalau keuntungannya fix misal 4 persen maka itu riba. Harusnya naik turun sesuai keuntungan yg didapatkan. Berarti keuntungan perbulannya bisa sy rubah kah ustadz,
J : Betul diubah sesuai besar kecilnya keuntungan usaha

45.
T : Bagaimana status keuntungan teman sy yg invest modalnya ke sy tadi
J : Kalau sistemnya belum dirubah maka jadi haram karena riba. Maka sebaiknya dibicarakan ulang tentang konsep bagi hasilnya agar sesuai islam

46.
T : ada seseorang hutang kepada keluarga sy dengan jaminan sawah, dengan perjanjian bahwa orang tsb akan memanfaatkan sawah yang digadaikan tersebut lalu sebagian persennya diberikan kepada si keluarga sy . Itu bagaimana ustadz, hukumnya
J :  Menggadaikan dg jaminan sawah boleh, dimana sawah dikelola oleh yg memberikan pinjaman, hasilnya dibagi dua utk melunasi hutang dan buat yg memberikan hutang

47.
T : Hukum asuransi jiwa seperti manulife itu bagaimana ya ustadz, di keluarga sy uang asuransi jiwa tsb akan cair saat adik sy masuk SMA
T :  Asuransi kalau konvensional maka haram.tp kalau syariah spt takaful dll maka halal

48.
T : Katanya BPJS trmasuk Riba juga ya ustdz?
J : BPJS memang ada ulama yg menyatakan riba karena ada denda ketika terlambat bayar premi

49.
T : Kalau beli buku online apa termasuk haram?? Hehe
J : Beli buku online boleh asalkan pihak penjual memang menjual barangnya bukan dg sistem drop ship

50.
 T : Lalu apakah sama, status tukang riba dgn korban riba,
J :  Pihak pemberi riba, penerima, pencatat dan saksi semua sama dosanya.
Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

51.
T : Apakah riba jg beli rumah dgn cr kredit bank pemerintah(karena program subsidi)?
J : Jual beli kredit rumah subsidi perlu.dicek sistemnya.
Kalau.kredit dg harga fix misal harga kredit 100 jt dicicil sekian tahun maka itu boleh
Tapi kalau cicilan naik turun sesuai bunga bank maka haram

52.
T : Tentang hukum atm dan kartu kredit bagaimana ustadz
J : Kartu kredit bila bank konvensional maka haram karena ada riba, kalau bank islam maka boleh.
Atm itu hanya alat utk ambil uang dg biaya tertentu jadi boleh

53.
T : Ust, jadi dropship di larang ?
J : betul drop ship.dilarang bila menjual barang yg tdk dimiliki, sebaiknya jadi re seller atau agent saja yg disepkati.dg pihak yg memiliki barang

54.
T :  Tentang atm, kadang jika saldo kurang, yg ada saldo kita yg kena potongan, itu bagaimana ustadz
J : Memang betul dipotong biaya karena sistem jasa utk atm.

55.
T :  Juga tentang arisan online, bagaimana itu ustadz
J : risan yg normal itu boleh misal arisan uang gantian yg dapat.

56.
T : Misalnya arisan karpet
J : Tp kalau arisan karpet yg dapat gantian dan uangnya bisa naik karena harga karpet berubah maka menjadi haram.krn ada riba

57.
T :  Jika sudah terlanjur ikut, arisan online bagaimana? Sedangkan uang sudah terlanjur ditransfer dan qt tau itu riba, apakah uang tsb qt ambil lagi, sebab kesepakatannya uang ga bisa ditarik lagi
J : Diikhlaskan saja dan tdk usah diteruskan arisannya

=====>>>>>>>>>>>=========>>>>>>>>======>>>>

PENUTUP

Baik..
Kita tutup sampai disini untuk kajian online kelas fiqh hari ini.
Diharapkan ke depannya masih terus tersimpan rasa penasaran akan ilmu serta semangat yang bertambah setiap harinya..
Semoga dipertemuan pekan depan, ukhtifillah kembali dengan semangat yang lebih baik.
Dan pastinya dengan segudang pertanyaan terkait materi yang akan dibahas.
Kita tutup kajian kita dengan lafadz hamdalah, istighfar dan do'a kafaratul majelis
Alhamdulillahirabbal'alamiin..
Doa penutup majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭
Artinya:
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”O:)

Selamat rehat ukhtifillah..
Wassalamualaikum wr.wb.